Jumat, 25 Mei 2012

Makna (Tafsir) QS. HUD 118-119


Allåh subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya:
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berikhtilaf (berselisih pendapat). Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka … .”
(QS. Hud : 118-119)
I. Makna Lafadh
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu … .”
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia Maha Kuasa untuk menjadikan mereka semua sebagai umat yang satu di atas keimanan atau kekufuran. Demikian perkataan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 2/481 ketika menerangkan ayat Allah yang mulia ini.
Imam Qatadah rahimahullah menjelaskan : “Kalau Allah menghendaki, tentu Dia akan menjadikan seluruh umat manusia ini sebagai Muslimin.” (Jami’ul Bayan 7/137 nomor 18712)
“Mereka senantiasa berikhtilaf (berselisih pendapat) … .”
Para ulama Ahli Tafsir di kalangan Salaf berbeda pendapat di dalam menerangkan maksud ikhtilaf yang ada dalam ayat ini dalam beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Sebagian ada yang menyatakan bahwa ikhtilaf yang dimaksud adalah ikhtilaf dalam masalah agama dan ahwa (hawa nafsu).
Menurut Al Hasan Al Bashri : “Seluruh umat manusia berselisih dalam beraneka ragam agama kecuali yang dirahmati oleh Rabbmu karena orang yang dirahmati tidak akan berselisih.” (Jami’ul Bayan 7/138 nomor 18715)
Kata Imam ‘Atha’ : “Mereka (orang-orang yang ikhtilaf) adalah yahudi, nashrani, dan majusi, sedangkan Al Hanafiyah (kaum Muslimin) adalah orang-orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla.” (Jami’ul Bayan 7/137 nomor 18713 dan Ad Durrul Mantsur 4/491)
Kata Ikrimah, murid Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma : “Mereka senantiasa ikhtilaf dalam hawa nafsu.” Hal ini seperti yang dinukilkan oleh Imam Ibnu Jarir At Thabari dalam Tafsir-nya, Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18727 dan Imam As Suyuthi dalam Ad Durrul Mantsur 4/492.
2. Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa ikhtilaf yang dimaksud dalam ayat ini adalah ikhtilaf dalam masalah rizki, sebagian ada yang kaya dan yang lain fakir miskin.
Dalam sebuah riwayat dari Al Hasan Al Bashri disebutkan bahwa beliau rahimahullah mengatakan : “Yakni mereka berikhtilaf dalam masalah rizki sehingga sebagian mereka mengejek dan menghinakan sebagian yang lain.” (Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18732 dan Ibnu Katsir 2/482)
3. Sebagian lagi ada yang menyebutkan bahwa ikhtilaf dalam ayat ini adalah ikhtilaf dalam hal rahmat dan maghfirah (ampunan) seperti yang dibawakan oleh Ibnu Jarir At Thabari dalam tafsirnya, Jami’ul Bayan 7/139.
Dari tiga pendapat yang disebutkan oleh para pakar tafsir di atas, yang paling rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan bahwa ikhtilaf dalam ayat ini adalah ikhtilaf dalam beraneka ragam agama dan hawa nafsu, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Jarir At Thabari dalam tafsirnya.
Beliau mengatakan : “Pendapat yang paling kuat dalam menerangkan pengertian ikhtilaf yang tersebut dalam ayat ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa umat manusia ini senantiasa berikhtilaf dalam perkara agama dan hawa nafsu mereka. Sehingga agama, hawa nafsu, dan kelompok mereka beraneka ragam bentuknya, kecuali orang-orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan para Rasul-Nya. Hal ini karena mereka tidak pernah berikhtilaf dalam mengesakan Allah, membenarkan para Rasul dan risalah yang mereka bawa. (Jami’ul Bayan 7/139). Pendapat ini juga dikuatkan dan dishahihkan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya 2/481.
Oleh sebab itu, para Ahli Tafsir menjelaskan bahwa mukhtalifin (orang-orang yang ikhtilaf) dalam ayat ini adalah yahudi, nashrani, majusi, dan ahlul bathil (ahlul bid’ah) dari kalangan Muslimin.
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu menjelaskan : “Mereka (orang-orang yang ikhtilaf) adalah ahlul bathil.” (Jami’ul Bayan 7/138 nomor 18725 dan Ad Durrul Mantsur 4/491)
Keterangan senada juga dijelaskan oleh murid beliau, Mujahid bin Jabr Al Makki, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abu Ishaq Asy Syathibi dalam kitabnya Al I’tisham 1/62.
“Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabbmu … .”
Orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Ahlul Qiblat (Muslimin), pengikut para Rasul alaihimus shalatu was salam, Ahlul Haq Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu mengatakan : “Mereka adalah Ahlul Haq.” (Jami’ul Bayan 7/138 nomor 18725 dan Ad Durrul Mantsur 4/491)
Pernyataan senada juga ditegaskan oleh para Ahli Tafsir jaman dahulu semisal Mujahid dan Abdullah bin Al Mubarak, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarir At Thabari dalam Jami’ul Bayan 7/138.
Ikrimah radliyallahu ‘anhu mengatakan : “Mereka adalah Ahlul Qiblah (kaum Muslimin).” (Ad Durrul Mantsur 4/492)
Beliau juga menegaskan : “Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Al I’tisham 1/62)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Yakni orang yang dirahmati dari pengikut para Rasul, orang-orang yang berpegang teguh dengan norma-norma agama yang diperintahkan kepada mereka. Para Rasul sejak dahulu telah mengajarkan kepada umatnya segala permasalahan agama dan kebiasaan mereka ini terus berjalan sampai penutup para Nabi dan Rasul. Maka para pengikutnya pun mengikutinya, membenarkan, dan membelanya, akhirnya mereka pun sukses memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, merekalah Al Firqatun Najiah. (Ibnu Katsir 2/481-482)
“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka … .”
Para Ahli Tafsir terdahulu berbeda pendapat dalam menerangkan maksud dan tujuan Allah menciptakan mereka dalam ayat mulia ini.
1. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa Allah menciptakan mereka untuk berikhtilaf sehingga diketahui mana yang bahagia dan mana yang sengsara.
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu mengatakan : “Allah menciptakan mereka menjadi dua golongan. Segolongan dirahmati sehingga mereka tidak berikhtilaf dan yang lain tidak dirahmati sehingga mereka berikhtilaf.” (Jami’ul Bayan 7/140 nomor 18739 dan Ad Durrul Mantsur 4/492)
Imam Malik rahimahullah mengatakan : “Allah menciptakan mereka supaya mereka menjadi dua kelompok. Sekelompok dalam Surga dan yang lain dalam neraka.” (Jami’ul Bayan 7/140 nomor 18742)
Al Hasan Al Bashri menegaskan : “Allah menciptakan mereka untuk ikhtilaf.” (Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18737)
2. Sebagian lagi ada yang menyatakan bahwa Allah menciptakan mereka untuk dirahmati, tidak untuk diadzab.
Mujahid dan Qatadah mengatakan : “Allah menciptakan mereka untuk dirahmati.” (Jami’ul Bayan 7/140-141 nomor 18743 dan 18747)
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa beliau mengatakan : “Allah menciptakan mereka untuk dirahmati, bukan untuk diadzab.” (Jami’ul Bayan 7/141 nomor 18751)
Ibnu Jarir At Thabari dalam Jami’ul Bayan 71141 mengatakan : “Pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat di atas ialah pendapat yang mengatakan bahwa Allah menciptakan mereka untuk berikhtilaf sehingga diketahui mana yang bahagia dan mana yang sengsara. Karena Allah menyebutkan adanya dua kelompok dari makhluknya, sekelompok ahlul ikhtilaf ahlul bathil dan yang lain Ahlul Haq. Kemudian setelah itu Allah menyatakan : ‘Untuk itulah Dia menciptakan mereka.’ Dalam pernyataan itu, Allah mengumumkan sifat dua kelompok tersebut, lalu Allah mengabarkan bahwa dua kelompok itu dimudahkan untuk menjalani tujuan mereka diciptakan.”
II. Tafsir Ayat
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa bila Dia menghendaki untuk menjadikan umat manusia ini sebagai umat yang satu di atas keislaman maupun kekufuran, niscaya Dia akan mampu melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dalam ayat lain :
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus : 99)
Tapi sunnatullah telah menetapkan bahwa umat manusia akan berpecah dan berikhtilaf disebabkan kedhaliman, kesesatan, dan penyimpangan mereka.
“Dahulu manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan). Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan … .” (QS. Al Baqarah : 213)
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu menjelaskan : “Jarak antara Nuh dan Adam ada sepuluh qurun (generasi). Semuanya di atas syariat yang Haq, lalu mereka berikhtilaf. Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/310)
“Mereka berikhtilaf karena telah terjadi di kalangan mereka beragam kesyirikan dan penyimpangan, lalu Allah mengutus para Nabi untuk mengembalikan umat manusia kepada agama tauhid yang mereka anut sebelum terjadi ikhtilaf.” Demikian kata Syaikh Ahmad Sallam dalam bukunya Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi halaman 16.
Dalam buku yang sama, beliau menegaskan : “Perpecahan ini merupakan sunnatullah yang berlaku atas para pembangkang dan penyimpang. Hal ini merupakan hakikat yang dinyatakan dalam Al Qur’an secara qath’i (pasti).” (Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi halaman 15)
Masalah ini pun telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam haditsnya :
“Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahlul kitab berpecah menjadi 72 millah (agama/syariat), sedangkan umat ini akan berpecah menjadi 73 millah, 72 di neraka dan yang satu di Surga, yaitu Al Jamaah.” (HR. Abu Dawud 12/340, At Tirmidzi 7/397, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Ash Shahihah nomor 204)
Ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan yang terjadi di umat manusia adalah perpecahan dalam masalah syariat agama dan prinsip-prinsip pijakan beragama, seperti yang disebutkan oleh para Ahli Tafsir ketika menjelaskan surat Hud ayat 118-119 di atas. Inilah yang menyebabkan firqah-firqah (golongan) sesat yang ada di setiap umat terpisah dari Al Jamaah, pengikut para Nabi dan Rasul. Karena ini pulalah mereka disebut sebagai firqah (kelompok sempalan).
Abu Ishaq As Syathibi rahimahullah menjelaskan : “Golongan-golongan ini disebut sebagai firqah karena mereka menyelisihi Al Firqatun Najiah (golongan yang selamat) dalam prinsip agama dan kaidah syariat … .” (Al I’tisham 2/200)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan orang-orang yang Dia rahmati dari perpecahan yang menimpa seluruh umat manusia.
Imam Qatadah rahimahullah menjelaskan : “Orang-orang yang dirahmati Allah adalah Ahlul Jamaah (bersatu) sekalipun rumah, daerah, dan jasad mereka berpisah. Sedangkan orang-orang yang mendurhakai Allah adalah ahlul furqah meskipun rumah, daerah, dan jasad mereka bersatu.” (Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18727 dan Ad Durrul Mantsur 4/492)
Ahlul Jamaah akan senantiasa ada, ditolong, dibela, dan dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla sampai menjelang hari kiamat nanti. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang ditolong, tidak memudlaratkan mereka orang yang menghinakan mereka sampai menjelang terjadinya kiamat.” (HR. Ahmad 4/436, At Tirmidzi 2287, Ibnu Majah 6, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah 1/3/135)
Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kembali bahwa Dia menciptakan umat manusia untuk berikhtilaf agar diketahui orang bahagia yang akan mendapatkan Surga-Nya dan orang sengsara yang mendapatkan siksa-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya :
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan ijin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka, ada pula yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka maka tempatnya di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Rabbmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia maka tempatnya di dalam Surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Hud : 105-108)
III. Ahlul Bid’ah Penyebab Perpecahan Umat
Bila kita membuka lembaran kitab suci Al Qur’an, mengkaji hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan menelaah kitab-kitab para Imam Ahlus Sunnah baik dulu maupun sekarang, kita akan menjumpai beberapa sebab timbulnya perpecahan umat.
“Di antara sekian banyak penyebab perpecahan umat adalah bid’ah dan ahlul bid’ah, karena setiap bid’ah pasti bergandengan dengan furqah (perpecahan) dan sunnah pasti bergandengan dengan jamaah (persatuan).” Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Istiqamah 1/42.
Syaikh Abdus Salam Barjas menegaskan : “Ahlul bid’ah adalah ahlul ikhtilaf dan iftiraq (penyebab perselisihan dan perpecahan) sebab mereka meninggalkan sunnah dan mengikuti subul (jalan-jalan yang menyimpang).” (Dlaruratul Ihtimam bis Sunnah 55)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159)
“Dhahir ayat (di atas) menunjukkan bahwa setiap orang yang mengada-adakan bid’ah dalam agama, baik khawarij maupun yang lainnya termasuk dalam ayat ini. Karena bila mereka telah mengadakan bid’ah maka mereka akan saling berdebat lalu mereka pun berpecah menjadi bergolong-golongan.” Demikian kata Al Qadli Ismail sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Ishaq Asy Syathibi dalam Al I’tisham 1/61.
Ibnu Athiyah rahimahullah menegaskan : “Ayat ini mencakup semua ahlul ahwa, ahlul bid’ah, orang-orang yang menyimpang, dan juga orang-orang yang ta’ammuq (berlebih-lebihan) dalam berdebat dan berkecimpung dalam ilmu kalam.”
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya 2/196 menjelaskan : “Ayat ini mencakup semua orang yang memecah belah agama Allah dan menyelisihinya, karena Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang Haq untuk dimenangkan di atas semua agama yang lain. Sedangkan syariat Allah hanya satu, tidak ada ikhtilaf ataupun iftiraq (perpecahan) padanya. Barangsiapa berikhtilaf dalam syariat dan menjadi syiya’ (kelompok-kelompok) semisal ahlul hawa, kelompok-kelompok sesat, dan pengikut millah-millah (agama-agama) sesat, maka Allah telah membebaskan tanggung jawab Rasul-Nya dari mereka semua.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan siksa yang berat.” (QS. Ali Imran : 105)
Imam Qatadah menjelaskan : “Yang dimaksud oleh Allah dalam ayat ini adalah ahlul bid’ah.” (Lihat Dlaruratul Ihtimam bis Sunnah halaman 55)
Penutup
Dari uraian di atas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa salah satu penyebab perpecahan umat adalah ahlul bid’ah, karena termasuk ciri khas dan syiar mereka adalah furqah (perpecahan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “ … adapun firqah-firqah lainnya, mereka adalah orang-orang yang menyimpang, biang perpecahan, ahlul bid’ah, dan ahlul hawa … sedangkan syiar mereka adalah mufaraqah (meninggalkan) Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.” (Majmu’ Fatawa 3/345-346)
Dengan demikian, dengan tegas kita menyatakan : Di mana ada kebid’ahan, baik bid’ah ‘amaliyah, bid’ah i’tiqadiyah, maupun bid’ah pemikiran, maka di situ pasti ada perpecahan. Dan di mana terjadi perpecahan maka di situ pasti terjadi bid’ah sebagai biangnya.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dakwah Salafiyah dakwah tauhid dan dakwah sunnah beserta dai-dainya adalah biang perpecahan umat, berarti orang tersebut menuduh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat pengikutnya sebagai biang perpecahan umat. Inilah ciri khas pada ahlul bid’ah sejak dahulu sampai sekarang.
Orang semacam ini telah menentang dan menyelisihi banyak ayat Al Qur’an, hadits-hadits Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa biang perpecahan umat adalah bid’ah dan ahlul bid’ah.
Kalau ada orang yang mempunyai keyakinan semacam ini maka dia akan terjerumus ke dalam berbagai kebid’ahan yang akan mengantarkan dia kepada kemunafikan dan kekafiran.
Orang semacam ini mustahil akan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya, padahal Allah telah mengancam :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya lalu mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Oleh karena itu mari kita amalkan nasihat yang disampaikan oleh Abul Aliyah, beliau menasihatkan : “Hati-hatilah kalian terhadap kebid’ahan-kebid’ahan yang menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan manusia ini!”
Al Hasan Al Bashri råhimahullåh berkomentar dengan pernyataan Abul ‘Aliyah diatas: “Mudah-mudahan Allah merahmati dia (Abul Aliyah), dia benar dan telah memberi nasihat.” (Lihat Al Bida’ wan Nahyu ‘Anha halaman 32-33)
Ya Allah, jagalah kaum Muslimin dengan agama-Mu dan Sunnah Nabi-Mu dari berbagai ikhtilaf dalam Al Haq, dari ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu), mengikuti jalan-jalan kesesatan, perkara-perkara yang masih samar (syubhat), penyimpangan, dan perdebatan. Amin, Ya Rabbal Alamin.
Wallahu A’lam Bis Shawab.

0 komentar:

Posting Komentar